Pemerintah telah menetapkan kebijakan pergeseran pengawasan barang impor dari border ke post-border yang mulai diimplementasikan pada 01 Februari 2018.Kebijakan ini merupakan salah satu langkah pemerintah dalam melakukan perbaikan logistik nasional dengan penyederhanaan tata niaga dan percepatan arus barang di pelabuhan, sesuai dengan program kerja pemerintah yang dituangkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XV.
Sebagai langkah untuk mewujudkan tata niaga yang efisien, pemerintah telah membentuk tim tata niaga ekspor impor untuk mengurangi barang yang terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan (lartas) yang saat ini dianggap masih tinggi. Dengan pergeseran pengawasan ke post-border lartas barang impor yang semula mencapai 48,3% atau mencapai 5.229 kode Harmonized System (HS) dapat dikurangi hingga mencapai 20,8% atau hanya menjadi 2.256 kode HS.
Tim yang dibentuk mengasilkan empat poin utama yang harus dicermati, yaitu:
- Pengurangan lartas di border lartas dari 46,3% menjadi 20,8% melalui pergeseran pengawasan impor dari border ke post border dan simplifikasi lartas ekspor.
- Penyederhanaan perizininan lartas border yang dilakukan dengan mengharmonisasikan antar peraturan lartas, sehingga peraturan-peraturan lartas yang berbeda namun mengatur komoditi yang sama dapat disederhanakan menjadi satu peraturan/ perizinan lartas (single licensing) yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) yang memiliki kepentingan utama/ leading sector.
- Harmonisasi 23 peraturan lartas, yaitu mengharmonisasikan 16 dari 23 peraturan lartas yang tidak sesuai dengan PKE.
- Tata niaga untuk Industri Kecil Menengah (IKM):
- IKM membutuhkan kecepatan pengadaan bahan baku asal impor dengan jenis dan jumlah sesuai kebutuhannya serta sesuai dengan kemampuan pembayarannya.
- IKM memiliki keterbatasan dalam melakukan ekspor dengan volume, persyaratan, dan sistem pembayaran luar negeri.
- Perlunya satu regulasi yang mengatur mekanisme pengadaan bahan baku dan ekspor untuk mendukung peningkatan produksi dan daya saing IKM sebagai substitusi impor yang selama ini melalui impor borongan dan perluasan ekspor IKM.
Bersumber dari Menko Bidang Perekonomian, penyederhanaan tata niaga ditujukan untuk mendorong daya saing industri yang butuhbahan baku impor, daya saing ekspor, dan efisiensi kebutuhan konsumsi, memenuhi komitmen kerja sama perdagangan internasional dimana ASEAN sudah rata-rata 17% dan komitmen WTO Schedule XXI, dan mendukung kelancaran arus barang ekspor impor di pelabuhan (dwelling time).
Pengalihan Pengawasan Border ke Post border
Penyederhanaan lartas ke post border dilakukan dengan pengurangan pengawasan di border.Dari total 10.826 kode Harmonized System (HS), sebanyak 5.229 Kode HS (48,3%) adalah lartas impor. Pada prinsipnya, pengawasan
post border dilakukan untuk mempercepat pengeluaran barang dari pelabuhan tanpa menghilangkan rantai tata niaga. Adapun pengawasan lartas di border hanya menyangkut keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat. Pengawasan post border dilakukan sebagai berikut.
- Bagi bahan baku dilakukan dengan sistem post audit terhadap industri pemakainya;
- Bagi barang konsumsi dilakukan sistem risk management atau persyaratan pra edar seperti ML BPOM
(ML=Makanan Luar);
- bagi post border tidak diberlakukan untuk ekspor.
Pemerintah menetapkan pengurangan lartas di border dengan target sebesar 2.256 Kode HS (20,8%), dengan memperhatikan bahwa rata-rata negara ASEAN menetapkan lartas di border hanya sebesar 17% Kode HS.Dengan demikian,perlu dilakukan penggeseran lartas ke post border sebanyak 3.466 Kode HS (32,02%).Dari 3.466 Kode HS yang digeser tersebut, masih terdapat duplikasi Kode HS di border dan di post border sebanyak 493 Kode HS(4,6%).
Dalam rangka pegeseran lartas ke post border telah dilakukan perubahan 25 regulasi dari 7 K/L yaitu Kementerian Perdagangan (19 regulasi), Kementerian Kesehatan (1 regulasi), Kementerian Pertanian (1 regulasi), Kementerian ESDM (1 regulasi), Kementerian Komunikasi dan Informatika (1 regulasi), dan BPOM (2 regulasi).
Adapun perubahan 37 regulasi di Kementerian Perindustrian telah ditampung dalam perubahan tentang tandardisasi Bidang Perdagangan.Perubahan regulasi dari 7 Kementerian/Lembaga tersebut, mengakibatkan:
- Jumlah Kode HS yang digeser ke post border sejumlah 2.859 atau 26,4% dari total Kode HS.
- Jumlah Kode HS yang tetap di border sebanyak 2.370 Kode HS atau 21,89% dari total Kode HS.
Pelaksanaan penyederhanaan lartas ke post border dimulai pada tanggal 1 Februari 2018 melalui sistem INSW. Selanjutnya, untuk lebih meningkatkan arus barang di pelabuhan, pemerintah memberikan pengecualian tata
niaga bagi 381 reputable traders (Authorized Economic Operator/AEO, Mitra Utama/MITA, dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor/KITE), dengan jumlah Kode HS untuk 381 reputable traders sebesar 498 Kode HS atau sebanyak 4,6% dari seluruh kode HS.
Kebijakan pergerseran lartas ke post border dan pengecualian tata niaga bagi reputable traders akan berdampak positif bagi kelancaran arus barang di pelabuhan dan mengurangi dwelling time. Pergeseran lartas ke post border, diharapkan akan dapat menurunkan dwelling time antara 0,9–1,1 hari melalui pendekatan perhitungan importir risiko rendah. Kondisi ini juga menuntut importir segera mengeluarkan barang setelah Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dan menyegerakan pengajuan Pemberiatahuan Impor Barang (PIB).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi mengatakan bahwa sebagai salah satu tim yang tergabung dalam tim tata niaga ekspor impor, Bea Cukai akan tetap melaksanakan pengawasan sesuai tugas dan fungsinya.Pada prinsipnya, pemerintah berupaya untuk tidak menghalangi penggunaan barang, namun pergeseran pengawasan ini tidak akan menghilangkan persyaratan impor dan dokumen perizinan tidak menjadi syarat impor.
Jika sebelumnya Bea Cukai melakukan pengawasan terhadap 36 peraturan terkait barang lartas yang dititipkan oleh Kementerian Perindustrian, setelah pengawasannya digeser ke post border, Bea Cukai hanya akan melakukan pengawasan terhadap 15 peraturan yang mencakup barangbarang, di antaranya barang-barang yang terkait engan keselamatan, kesehatan, dan lingkungan (K3L).
Selain tetap melaksanakan tugas dan fungsinya, Bea Cukai juga akan memberikan dukungan terhadap pengawasan post border. Bea Cukai telah menyusun buku Mekanisme Pengawasan Tata Niaga Post-Border” untuk dapat dijadikan pengayaan bagi Kementerian dan Lembaga dalam melakukan pengawasan. Bea Cukai juga telah melakukan berbagai koordinasi antar K/L untuk melakukan pembahasan peraturan terkait HS Code komoditi post-border, sosialisasi mekanisme dan pengawasan tata niaga postborder, dan rapat koordinasi untuk persiapan implementasi pengawasan post-border.
Mekanisme Pengawasan
Dalam rangka pengawasan tata niaga post border perlu adanya suatu proses yang dapat menjadi panduan bagi K/L yang melaksanakan pengawasan. Bentuk pengawasan antar K/L tidak harus sama dan dapat disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik instansinya masingmasing.Pelaksanaan pengawasan kepatuhan importir dalam memenuhi ketentuan tata niaga impor atas barang yang diimpornya dilakukan oleh K/L yang menetapkan ketentuan tata niaga impor berdasarkan manajemen risiko. Pengawasan ini dilakukan dengan cara analisis data, random spot check, dan/atau audit pada saat barang berada di Gudang Importir dan/atau peredaran bebas (pasar).
Pengaturan tata niaga impor dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu tata niaga yang pengawasannya dilakukan di border (disebut barang lartas) dan tata niaga yang pengawasannya dilakukan di post border. Hal paling mendasar dari pengaturan tata niaga impor dengan mekanisme post border adalah importir tidak lagi wajib memenuhi perizinan (lartas) ketika melakukan customs clearance.Importir dapat memenuhi perizinan (lartas) ketika barang keluar dari kawasan pabean, sehingga tanggung jawab penelitian pemenuhan perizinan lartas tersebut dikembalikan kepada masing-masing K/L terkait sesuai dengan sektornya.
- K/L menyampaikan daftar barang dan kode HS barang yang diatur tata niaga impornya di post border kepada INSW dalam rangka sharing data impor (untuk keperluan notifikasi INSW kepada K/L). Daftar barang dan kode HS tersebut dicantumkan dalam database INSW sebagai data acuan/referensi saat men-supply data impor barang yang menjadi obyek pengawasan K/L dimaksud.
- Perizinan edar atau perizinan post border dapat di-declare pada dokumen PIB.
- Data PIB diteruskan ke CEISA untuk mendapatkan respon dokumen release (SPPB) setelah proses kepabeanan tanpa penelitian persyaratan lartas dalam rangka.
- Notifikasi dan alert awal dari INSW kepada K/L teknis.
- Penerusan data PIB dari INSW ke Bea Cukai.
- Notifikasi dari Bea Cukai ke INSW, dan dari INSW ke importir dan K/L terkait penetapan Pos Tarif.
- Pengawasan menggunakan manajemen risiko yang bersumber dari K/L atau Indonesia Single Risk Management (ISRM).
- Pengawas dari K/L terkait melakukan analisis data untuk menentukan subjek dan objek pengawasan, misalnya yang izinnya tidak di-declare.
- Antar K/L memiliki risk engine yang bersumber dari data masing-masing atau ISRM.
- Hasil pengawasan disampaikan kepada INSW untuk menjadi masukan profil bagi K/L lainnya, termasuk data update profil importir atau eksportir di Bea Cukai.
Dari prinsip pengawasan tata niaga post border sebagaimana telah dijelaskan di atas, berikut pengawasan yang diterapkan dalam pengawasan tata niaga post border:
- Analisis data/pemeriksaan dokumen, dilakukan terhadap seluruh informasi yang didapatkan K/L atas data perusahaan dan data barang yang diimpor. Data perusahaan dapat diperoleh melalui data awal yang disampaikan oleh perusahaan pada saat pendaftaran perizinan, data profil perusahaan yang diperoleh dari intansi pemerintah (dalam kerangka ISRM), serta data lainnya.Sementara data barang yang diimpor diperoleh dari data notifikasi yang diberikan oleh sistem INSW.
- Random spot check, dilakukan berdasarkan hasil analisis data yang mengindikasikan barang yang diimpor belum memenuhi perizinan atau barang yang diimpor tidak sesuai dengan perizinan. Random spot check dapat dilakukan terhadap barang impor di gudang importir dan/atau di peredaran (pasar).
- Audit, merupakan serangkaian pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan dokumen/pembukuan dan pemeriksaan fisik barang secara menyeluruh. Audit dilakukan berdasarkan analisis manajemen risiko dan data importasi. K/L dalam rangka audit harus menentukan daftar rencana audit terlebih dahulu. Audit dilakukan terhadap importir tertentu untuk menguji kepatuhan atas importasi komoditi yang diatur tata niaganya dalam kurun waktu tertentu.
Sanksi Pelanggaran
Berdasarkan hasil pengawasan post border yang dilakukan oleh K/L, apabila ditemukan importasi barang yang tidak sesuai dengan ketentuan tata niaga, terhadap importir/pelaku usaha perlu dikenakan sanksi.Dalam ruang lingkup perdagangan luar negeri, terhadap kewajiban pengenaan perizinan, standar, dan larangan pembatasan, UU Perdagangan mengatur sanksi sebagai berikut:
Sanksi terhadap barang:
- Terhadap barang impor yang tidak memenuhi ketentuan larangan dan pembatasan, wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh Importir, atau ditentukan lain oleh Menteri.
- Memperdagangkan barang impor yang diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari distribusi.
- Terhadap barang impor atau ekspor yang diberitahukan dengan tidak benar agar terhindar dari ketentuan larangan dan pembatasan, terhadap barang tersebut dikuasai oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan.
Sanksi terhadap importir atau eksportir (termasuk penyedia jasa):
- Importir atau eksportir yang tidak bertanggung jawab atas barang yang diimpor atau diekspornya dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, pengakuan, dan/atau penetapan di bidang perdagangan.
- Penyedia jasa yang memperdagangkan jasa yang telah diberlakukan SNI,persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat, dikenai sanksi administratif berupa penghentian kegiatan usaha.
- Sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 116 UU Perdagangan.
Selain sanksi tersebut, Bea Cukai juga dapat memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap pemenuhan perizinan barang-barang tata niaga post border, antara lain sebagai berikut:
- Hilangnya hak restitusi dengan dilakukan ekspor kembali (lebih tepatnya ekspor) atas barang yang telah diimpor, secara otomatis memberikan kerugian yang cukup berat bagi importir mengingat sesuai ketentuan dibidang kepabeanan, terhadap ekspor barang impor yang telah keluar dari kawasan pabean tidak dapat dilakukan pengembalian (restitusi) atas bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang telah dibayar. Selain itu importir juga harus menanggung biaya ekspor atas barangnya tersebut.
- Pemblokiran, proses importasi atau eksportasi komoditi apapun oleh yang bersangkutan tidak dapat dilayani oleh Bea Cukai sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan kegiatan impor maupun ekspor.
Tanpa simplifikasi/penyederhanaan perizinan, implementasi penyederhanaan lartas melalui skema post border berpotensi tumpang tindih. Simplifikasi diperlukan, karena dalam suatu barang rata-rata bisa diatur oleh dua atau Tiga perizinan dari K/L yang berbeda.
Kebijakan di pintu masuk barang impor ini bertujuan mendorong daya saing industri yang membutuhkan bahan baku impor, daya saing ekspor serta efisiensi kebutuhan konsumsi.
Selain itu, kebijakan ini sekaligus merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam kerja sama perdagangan internasional serta mendukung kelancaran arus barang ekspor-impor di pelabuhan (dwelling time) yang melengkapi instrumen INSW, Pusat Logistik Berikat (PLB) dan manajemen risiko.
Pada prinsipnya pengawasan post border dilakukan untuk mempercepat pengeluaran barang dari pelabuhan tanpa menghilangkan rantai tata niaga dan Pengawasan post border ini tidak diberlakukan untuk ekspor
Sumber : Warta Bea Cukai vol. 50 no. 4 April 2018